PENDAHULUAN
Persiapan untuk mewujudkan industri perdagangan berjangka komoditi di Indonesia
sudah cukup lama, namun perjalanannya tidak begitu lancar karena adanya
pihak-pihak yang menentang pengembangan industri perdagangan berjangka ini.
Untuk menghilangkan keragu-raguan dalam pengembangan industri ini, pada tahun
1994 secara berturut-turut dilakukan kajian yang mendalam tentang “Kebutuhan
Dunia Usaha Akan Instrumen Kontrak Berjangka Komoditi” kajian tentang “Analisis
Manfaat/Biaya Penggunaan Kontrak Berjangka di Indonesia”, serta “Studi
Kelayakan Perdagangan Kopi dan Kelapa Sawit di Bursa Berjangka”. Kajian serta
studi tersebut dibiayai oleh Bank Dunia/UNCTAD dan USAID, dan dilaksanakan oleh
Konsultan ahli di bidang perdagangan berjangka dari Amerika Serikat yaitu
Sparks Company Inc (SCI). Hasil kajian menyimpulkan layak (feasible)-nya
pengembangan Kontrak Berjangka di Indonesia.
RESIKO HARGA DI BIDANG AGRIBISNIS
Dari
6 komoditi yang telah disetujui pemerintah untuk dapat dijadikan sebagai subjek
Kontrak Berjangka, seluruhnya dari produk pertanian yaitu kopi, kelapa sawit,
kayu lapis, lada, kako, dan karet. 2 komoditi yang disebutkan pertama (kopi dan
kelapa sawit) akan mengawali perdagangan berjangka komoditi di PT Bursa
Berjangka Jakarta (PT BBJ) pada akhir tahun 2000.
Indonesia
merupakan negara produsen sekaligus pemasok utama beberapa komoditi primer
seperti produk pertanian, perikanan atau pertambangan, yang harganya selalu
mengalami gejolak. Gejolak harga di sektor komoditi ini dapat timbul setiap
saat dan melekat dalam sistem produksi dan pemasaran komoditi primer.Dengan
semakin menyatunya perekonomian nasional ke dalam tatanan ekonomi dunia,
ketidak pastian usaha akan menjadi ciri dalam dinamika perekonomian global yang
harus dihadapi oleh perekonomian Indonesia. Iklim ketidak pastian usaha tersebut antara lain
dicerminkan oleh adanya gejolak perubahan harga komoditi yang semakin besar.
Dalam jangka panjang, ketidak pastian dalam perkembangan harga atau yang biasa
disebut dengan resiko harga ini akan menyulitkan para pelaku ekonomi, baik
domestik maupun internasional, dalam upaya mereka melakukan perencanaan
kegiatan produksi, konsumsi dan distribusi, yang pada akhirnya dapat menghambat
pertumbuhan ekonomi. Resiko juga semakin bertambah dengan adanya pengaruh
akibat perubahan kurs, tingkat suku bunga atau inflasi.